Pertama kali saya mendengar kata Buoyancy itu ketika saya mengikuti kegiatan Train the Trainer untuk program Leadership Training di perusahaan tempat saya bekerja. Kata Buoyancy yang diperkenalkan diambil dari buku karya Daniel Pink berjudul To Sell is Human, dimana menurutnya ketika berkomunikasi dengan orang lain dalam konteks penjualan, baik kepada nasabah atau sesederhana menjual ide pada atasan, kita perlu menguasai ABCs of Selling. A untuk Attunement yang mana kita perlu belajar melihat sesuatu dari sudut pandang lawan bicara kita. B untuk Bouyancy dimana ketika kita mengalami banyak penolakan, kita harus segera bangkit dari keputus-asaan dan move on. Terakhir C untuk Clarity, tentunya kita harus paham jelas apa kebutuhan lawan bicara kita dan bisa menjelaskan dengan jelas apa yang bisa kita tawarkan.
Kata buoyancy sendiri memiliki arti yang berkaitan dengan hukum fisika. Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Daya Apung, dimana terjadinya daya tekan keatas dari cairan terhadap sebuah benda yang berlawanan dengan massa benda dan efek gravitasi. Atau sederhananya, buoyancy adalah kemampuan mengapung dari sebuah benda pada cairan tertentu (misalnya air, raksa dan lain-lain). Ketika kita menyelam di laut, dengan berat badan kita dan gaya grafitasi membuat kita terdorong untuk tenggelam ke dasar laut, namun pada saat bersamaan air laut menekan kita ke atas dan akhirnya kita tidak tenggelam tapi malah terapung. Kurang lebih gambaran mudahnya seperti itu. Saya sendiri perlu watu berhari-hari untuk benar-benar memahami arti dari kata buoyancy ini. 🙂
Namun setelah saya melalui latihan coaching selama 15 jam lebih, saya merasakan daya apung itu pada diri saya. Sebagai coach, kita harus mendengar secara aktif untuk memahami benar cerita yang disampaikan oleh coachee. Dengan teknik-teknik yang diajarkan seperti paraphrase atau penegasan kembali makna cerita yang disampaikan, reframing, pengakuan dan teknik lainnya membuat coach dan coachee berada dalam satu irama. Pada saat itulah saya sebagai coach mulai menyemplung ke dalam dunia si coachee. Ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang kuat disampaikan dari mulai apa, bagaimana, jelaskan tentang, kapan, siapa dan pertanyaan provokatif lainnya menambah kedalaman kita dalam dunianya coachee. Sesekali muncul perasaan kepo atas cerita yang disampaikan. 🙂
Pada saat merasa kepo, disitulah saya sebagai coach mulai merasakan ada tekanan untuk segera mengapung dari kedalaman cerita yang memungkinkan saya akan tenggelam dengan ceritanya dan sulit untuk kembali ke tujuan awal yang disepakati ketika memulai coaching. Daya tekan itu datang dari kesadaran saya atas kode etik dan kompetensi coaching dimana saya harus menjaga kenetralan saya dan tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai oleh coachee. Ketika saya bisa menjaga hal itu sambil terus memahami cerita coachee, saya sedang mengalami buoyancy, mengapung dalam lautan cerita coachee.
Iya, cerita yang disampaikan oleh coachee itu layaknya lautan, dan keinginan kita untuk memahami cerita itu adalah daya dorong yang membuat kita tenggelam menuju dasar lautan. Kesadaran atas profesionalitas yang berpegang pada kode etik dan kompetensi merupakan daya tekan yang membuat kita tetap melayang dalam air laut dan akhirnya terapung di lautan cerita. Setiap saya mengalami kondisi tersebut, secara bersamaan saya tidak hanya sedang dancing in the moment tapi juga diving in the sea.
Kenali buoyancy anda dan nikmati menyelam dalam dunia coaching!
Author :
Ari Yuda Laksmana